Rabu, 03 Juni 2015

Karbonisasi

A. KARBONISASI

       Karbonisasi merupakan suatu proses untuk mengkonversi bahan organik menjadi arang. Pada proses karbonisasi akan melepaskan zat yang mudah terbakar seperti CO, CH4, H2, formaldehid, metana, formik dan acetil acid serta zat yang tidak terbakar seperti seperti CO2, H2O dan tar cair. Gas-gas yang dilepaskan pada proses ini mempunyai nilai kalor yang tinggi dan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kalor pada proses karbonisasi.
Proses karbonisasi dapat merupakan reaksi endoterm atau eksoterm tergantung pada temperatur dan proses reaksi yang sedang terjadi. Secara umum hal ini dipengaruhi oleh hubungan temperatur karbonisasi, sifat reaksi, perubahan fisik/kimiawi yang terjadi. Perubahan fisika terdiri atas pelunakan, aliran material, penggabungan dan pengerasan, sedangkan perubahan kimia terdiri atas perekahan polimerisasi dan penguapan.

Karbonisasi Batubara
Karbonisasi batubara adalah proses pemanasan batubara dengan keadaan anaerob (tanpa oksigen) pada temperatur beberapa ratus derajat menghasilkan material – material :

1. Karbon padat (solid residu)
Disebut semikokas/kokas jika bersifat kompak dan padat, atau disebut char jika lebih berpori dan tidak kompak.

2. Hasil cair
Terbuat dari campuran hidrokarbon (zat arang cair) disebut tar dan larutan yang mengandung air yang mengandung jenis bahan-bahan terlarut yang disebut zat amoniak.

3. Hidrokarbon dan campuran lain
Dalam bentuk gas yang didinginkan ke temperatur normal.

Berdasarkan perbedaan besarnya temperatur pemanasan, proses karbonisasi terdiri atas:
1. Low temperature carbonization pada suhu 500
°C - 700°C
2. Medium temperature carbonization pada suhu 700
°C - 900°C
3. High temperature carbonization pada suhu > 900
°

Karbonisasi Bertemperatur Rendah
     Karbonisasi bertemperatur rendah adalah proses karbonisasi tanpa udara pada temperatur 500 – 700
°C. Karbonisasi bertemperatur rendah umumnya untuk memproduksi padatan, bahan bakar tak berasap atau tar. Padatan hasil karbonisasi bertemperatur rendah mudah pecah, berwarna kehitaman, masih banyak mengandung zat terbang.
Sebagian besar peralatan menggunakan retort pada temperatur 500-600
°C, sehingga material yang digunakan untuk pemanasan masih dapat menggunakan besi cor/cast iron, ditinjau dari perpindahan panas masih menguntungkan untuk proses-proses pemanasan tidak langsung. Penggunaan refraktori/bata tahan api hanya digunakan pada tempat-tempat yang sangat panas biasanya disekitar pembakar atau burner.
Pada gambar 2. ditunjukkan diagram alir dari suatu proses pemanfaatan karbonisasi batubara temperatur rendah untuk batubara dengan kandungan volatil matter tinggi.
Tungku putar horisontal dengan pemanasan menggunakan panas sensibel dari gas buang, tungku disangga oleh dua pasang penggerak putar dan mempunyai sedikit kemiringan untuk mengarahkan gerakan material. Tungku dibuat dari bahan baja yang dilapisi oleh bahan tahan panas agar tidak secara langsung gas panas mengenai baja report, yang didesain counter current dengan aliran batubara masuk silinder tungku putar. Diperlukan waktu 2,5 jam untuk pemanasan di dalam tungku putar dan menghasilkan semikokas, gas dan cairan yang berupa tar. Pada penggunaan batubara kadar rendah (brown coal) dengan kandungan moisture 45,53%, zat terbang 37,09%, abu 6,79% dan karbon tetap 11,0% dapat menghasilakn semikokas dengan komposisi zat terbang 20,56%, karbon tetap 53,73% dan abu 23,41%. Untuk batubara bituminus tiap ton dapat menghasilkan 21,6 galon minyak, 44.000 ft3 gas dan 15,2 lb amonium sulfat.
Keunggulan dari KTR ini ditinjau dari material konstruksi dapat diterapkan untuk material peralatan baja biasa atau besi cor karena temperatur yang disyaratkan hanya sekitar 500 oC, menggunakan baja karbon atau mild steel sudah cukup, tersedia cukup banyak di pasaran. Walaupun untuk keperluan khusus tempat-tempat yang kondisinya diretort oksidasi harus digunakan pelapisan dengan bahan material tahan api seperti castabel atau fiber keramik.
 
Tujuan Karbonisasi
        Tujuan dari proses karbonisasi adalah menaikkan kadar karbon padat dan menghilangkan zat terbang (volatile matter) yang terkandung dalam batubara serendah mungkin sehingga dihasilkan semi kokas atau kokas dengan kandungan zat terbang yang ideal 8-15% dengan nilai kalori yang cukup tinggi di atas 6.000 kkal/kg. Kandungan zat terbang berhubungan erat dengan kelas batubara, makin tinggi zat terbangnya maka makin rendah kelas batubara, karena zat terbang akan mempercepat pembakaran karbon padatnya. Dengan karbonisasi juga akan menghasilkan produk akhir yang tidak berbau dan berasap..
 
Proses Karbonisasi Batubara
Proses karbonisasi dilakukan melalui dua cara:
1. Proses Karbonisasi dengan pemanasan secara langsung
Proses Karbonisasi dengan pemanasan secara langsung dalam tungku Beehive yang berbentuk kubah. Tungku Beehive merupakan tungku yang paling tua dimana batubara dibakar pada kondisi udara terbatas, sehingga hanya zat terbang saja yang akan terbakar. Jika zat terbang terbakar habis, proses pemanasan dihentikan.Kelemahannya antara lain terdapat produk samping berupa gas dan cairan yang tidak dapat dimanfaatkan atau habis terbakar, disamping itu produktivitas sangat rendah.

2. Karbonisasi batubara dengan pemanasan tidak langsung
Karbonisasi batubara dengan pemanasan tidak langsung atau proses distilasi kering di mana sirkulasi udara dikontrol seminimal mungkin. Melalui dinding baja, panas disalurkan ke dalam tanur bakar yang memuat batubara. Pada suhu sekitar 375
°C - 475°C, batubara mengalami dekomposisi membentuk lapisan plastis di sekitar dinding.
Ketika suhu mencapai 475
°C - 600°C, terlihat kemunculan cairan tar dan senyawa hidrokarbon (minyak), dilanjutkan dengan pemadatan massa plastis menjadi semi-kokas. Pada suhu 600°C - 1100°C, proses stabilisasi kokas dimulai. Ketika lapisan plastis sudah bertemu di tengah oven, berarti seluruh batubara telah terkarbonasi menjadi kokas, dilanjutkan dengan proses pendinginan (quenching). Setelah kokas selesai dibuat di oven, perlu pendinginan secepatnya supaya kokas tersebut tidak berubah jadi abu.
Cara ini selain menghasilkan kokas juga diperoleh produk samping berupa tar, amoniak, gas methana, gas hidrogen dan gas lainnya. Gas-gas tersebut dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. sedangkan produk cair berupa tar, amoniak dan lain-lain dapat diproses lebih lanjut untuk menghasilkan bahan-bahan kimia, umumnya berupa senyawa aromatik.


UJI PADA KARBONISASI
1. Free Swelling Index
 Tes ini dilakukan untuk menentukan angka peleburan dengan cara memanaskan sejumlah sampel pada temperatur peleburan normal (kira-kira 800°C). Setelah pemanasan atau sampai semua semua volatile dikelurkan, sejumlah coke tersisa dari peleburan. Swelling number dipengaruhi oleh distribusi ukuran partikel dan kecepatan pemanasan.

2. Tes karbonisasi Gray-King dan tipe coke
Tes Gray-King menentukan jumlah padatan, larutan dan gas yang diproduksikan akibat karbonisasi. Tes dilakukan dengan memenaskan sampel didalam tabung tertutup dari temperatur 300°C menjadi 600°C selama 1 jam untuk karbonisasi temperatur rendah atau dari 300°C menjadi 900°C selama 2 jam untuk karbonisasi temperatur tinggi.

3. Tes Karbonisasi Fischer
Prinsipnya sama dengan metode Gray-King, perbedaan terletak pada peralatan dan kecepatan pemanasan. Pemanasan dilakukan di dalam tabung alumunium selama 80 menit. Tar dan liquor dikondensasikan ke dalam air dingin. Akhirnya didapatkan persentase coke, tar dan, air sedangkan jumlah gas didapat dengan cara mengurangkannya. Tes Fischer umum digunakan untuk batubara rank rendah (brown coal dan lignit) untuk karbonisasi temperatur rendah.

4. Plastometer Gieseler
Plastometer Gieseler adalah viskometer yang memantau viskositas sampel batubara yang telah dileburkan. Dari tes ini direkam data-data sbb:
a) Initial softening temperature
b) Temperatur viskositas maksimum
c) Viskositas maksimum
d) Temperatur pemadatan resolidifiation


5. Indeks Roga
Indeks Roga menyatakan caking capacity. Ditentukan dengan cara memanaskan 1 gram sampel batubara yang dicampur dengan 5 gram antrasit pada 850°C selama 15 menit.

6. Tes lain yang dilakukan:
Biasanya dilakukan untuk menentukan:
b) Komposisi kimia (analisis proksimat, total belerang, analisis abu,dll)
c) Parameter fisik (distribusi ukuran, densitas relatif)
d) Uji kekuatan.
e) Tes Metalurgi.

B. KARBON AKTIF ( ARANG AKTIF )
       Karbon aktif, atau sering juga disebut sebagai arang aktif, adalah suatu jenis karbon yang memiliki luas permukaan yang sangat besar. Hal ini bisa dicapai dengan mengaktifkan karbon atau arang tersebut. Hanya dengan satu gram dari karbon aktif, akan didapatkan suatu material yang memiliki luas permukaan kira-kira sebesar 500 m2 (didapat dari pengukuran adsorpsi gas nitrogen). Biasanya pengaktifan hanya bertujuan untuk memperbesar luas permukaannya saja, namun beberapa usaha juga berkaitan dengan meningkatkan kemampuan adsorpsi karbon aktif itu sendiri.

      Karbon aktif adalah karbon padat yang memiliki luas permukaan yang cukup tinggi berkisar antara 100 sampai dengan 2000 m2/g. Bahkan ada peneliti yang mengklaim luas permukaan karbon aktif yang dikembangkan memiliki luas permukaan melebihi 3000 m2/g. Bisa dibayangkan dalam setiap gram zat ini mengandung luas permukaan puluhan kali luasan lapangan sepak bola. Hal ini dikarenakan zat ini memiliki pori – pori yang sangat kompleks yang berkisar dari ukuran mikro dibawah 20 A (Angstrom), ukuran meso antara 20 sampai 50 Angstrom dan ukuran makro yang melebihi 500 A (pembagian ukuran pori berdasarkan IUPAC). Sehingga luas permukaan disini lebih dimaksudkan luas permukaan internal yang diakibatkan dari adanya pori – pori yang berukuran sangat kecil. Karena memiliki luas permukaan yang sangat besar, maka karbon aktif sangat cocok digunakan untuk aplikasi yang membutuhkan luas kontak yang besar seperti pada bidang adsorpsi (penyerapan), dan pada bidang reaksi dan katalisis. Contoh yang mudah dari karbon aktif adalah yang banyak dikenal dengan sebutan norit yang digunakan untuk mengatasi gangguan pencernaan. Prinsip kerja norit adalah ketika masuk kedalam perut dia akan mampu menjerap bahan – bahan racun dan berbahaya yang menyebabkan gangguan pencernaan. Kemudian menyimpannya di dalam permukaan porinya sehingga nantinya keluar nantinya bersama tinja. Secara umum karbon aktif ini dibuat dari bahan dasar batu bara dan biomasa. Intinya bahan dasar pembuat karbon aktif haruslah mengandung unsur karbon yang besar. 
       Dewasa ini karbon aktif yang berasal dari biomasa banyak dikembangkan para peneliti karena bersumber dari bahan yang terbarukan dan lebih murah. Bahkan karbon aktif dapat dibuat dari limbah biomasa seperti kulit kacang-kacangan, limbah padat pengepresan biji – bijiaan, ampas, kulit buah dan lain sebagainya. Proses pembuatan arang aktif dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pengaktifan secara fisika dan secara kimia. Pengaktifan secara fisika pada dasarnya dilakukan dengan cara memanaskan bahan baku pada suhu yang cukup tinggi (600 – 900 °C) pada kondisi miskin udara(oksigen), kemudian pada suhu tinggi tersebut dialirkan media pengaktif seperti uap air dan CO2. Sedangkan pada pengaktifan kimiawi, bahan baku sebelum dipanaskan dicampur dengan bahan kimia tertentu seperti KOH, NaOH, K2CO3 dan lain sebagainya. Biasanya pengaktifan secara kimiawi tidak membutuhkan suhu tinggi seperti pada pengaktifan secara fisis, namun diperlukan tahap pencucian setelah diaktifkan untuk membuang sisa – sisa bahan kimia yang dipakai. Sekarang ini telah dikembangkan pengabungan antara metode fisika dan kimia untuk mendapatkan sekaligus kelebihan dari kedua tipe pengaktifan tersebut.
 

Titik Nyala ( Flash Point ) & Titik Api ( Fire Point )

Flash point atau titik nyala adalah suhu terendah dimana minyak ( uap minyak ) dan produknya akan menyala apabila terkena percikan api kemudian akan mati kembali dengan cepat.
Minyak bumi yang mempunyai flash point terendah akan membahayakan, karena minyak tersebut mudah terbakar. Apabila minyak tersebut mempunyai titik nyala tinggi juga kurang baik, karena akan susah mengalami pembakaran. Tetapi jika  ditinjau dari segi keselamatan maka minyak yang baik mempunyai flash point yang tinggi karena tidak mudah terbakar.
Fire point adalah suhu terendah dimana uap minyak bumi dan produknya akan menyala dan terbakar secara terus-menerus jika terkena percikan api pada kondisi tertentu.
Flash point ditentukan dengan cara memanaskan sample dengan pemanasan yang tetap, setelah tercapai suhu tertentu maka minyak mentah akan menguap. Uap tersebut akan menyala jika test flame diarahkan pada uap tersebut sehingga akan terjadi semacam letupan kecil karena adanya tekanan pembakaran gas tersebut dan akan memadamkan api yang terdapat pada test flame. Inilah yang disebut dengan flash point.
Penentuan fire point ini adalah sebagai kelanjutan dari penentuan flash point dimana sample akan terbakar / menyala selama lebih kurang lima detik maka suhu pada saat itu disebut sebagai titik bakar ( fire point ) suatu minyak mentah. Penentuan titik nyala tidak dapat dilakukan pada produk-produk yang banyak mengandung volatile seperti gasolin dan solvent-solvent ringan, karena akan mudah terbakar.
Pada awalnya penentuan flash point dan fire point ini dimaksudkan untuk menentukan tingkat keamanan kerja, sehingga orang yang bekerja tidak merasa kuatir akan terjadinya kebakaran, akan tetapi pada perkembangannya digunakan untuk  mengetahui mudah tidaknya minyak tersebut bisa menguap.